Manusia tidak mungkin dihindarkan dari kehidupan politik. Manusia adalah makhluk politik (zoon politikon) kata Aristoteles. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, manusia itu sudah tabiatnya bernegara. Sama halnya dengan kebutuhan kepada lingkungannya dan masyarakat, manusia pun tidak bisa menjauhkan dirinya dari kebutuhan alami dan keniscayaan untuk berpolitik. Oleh karenanya sering kita mendengar istilah, “Agama tanpa politik, pasti lemah. Politik tanpa agama, akan membabi-buta”.
Islam meletakan suatu kewajiban di pundak setiap muslim yang dinamakan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kewajiban ini mungkin saja dilaksanakan dalam bentuk nasihat kepada penguasa dan kepada kaum muslimin secara umum dan mungkin juga dalam bentuk saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Kedua hal ini merupakan syarat utama untuk menghindari kerugian di dunia maupun di akhirat, seperti yang dijelaskan dalam Q.S Al-‘Ashr. Kegiatan seorang muslim dalam menata masalah umatnya sekarang dinamakan dengan kegiatan politik. (Qardhawi, 1997; 146)
Namun, semakin hari fenomena politik semakin menggelitik mata dan hati. Alih-alih membentuk sebuah sistem guna mengatur kehidupan masyarakat, justru elit politik menyuguhkan kegaduhan masal. Semangat permusuhan terus digemboskan demi hasrat kekuasaan. Sedangkan media mempertontonkan pertunjukan yang penuh kesombongan. Opini publik digiring ke dalam sebuah ruang kosong, dijejalkannya nafas permusuhan dan mengubur istilah persaudaraan. Atas nama politik, uang berganti teman, tetangga berganti dendam, keluarga berganti tahta, cinta berganti rana. Mereka justru menjadikan fitrah politik dalam diri manusia bertentangan dengan fitrah manusia untuk maslahat bersama. Stigma politik kotor kini merajalela.
Menelisik Makna Politik
Supaya bahasan kita lebih tertata dan terhubung satu dengan lainnya, alangkah baiknya kita pahami dulu sepintas makna politik. Dilihat dari sisi etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis yang berarti kota yang berstatus negara kota (city-state). (Hidajat Imam: 2009, hlm. 2)
Makna ini terlalu sempit untuk ukuran politik modern ini. Sehingga banyak ilmuwan politik menafsirkan politik secara beragam. Misalnya Harold Lasswell mendefinisikan politik secara sederhana; siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana?. Vladimir lenin, menganggap politik sebagai “siapa melakukan apa kepada siapa?”. Mao Tse Tung, pemimpin besar partai komunis Cina menggambarkan politik sebagai “perang tak berdarah” (bloodless war). (Abil Fida: 2018, hlm. 20)
Dari sekian pengertian yang ada, politik juga tidak bisa dipisahkan dari ideologi atau pemikiran yang berkembang pada saat itu. Perkembangan ideologi pada sebuah negara akan berdampak pada sistem politik pada tempat itu. Sistem politik di sebuah tempat pada sebuah zaman dibangun berdasarkan ideologi yang berlaku pada tempat dan zaman tersebut. Ideologi yang diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai pemikiran manusia (a science of human mind)oleh seorang aristrokat Perancis bernama Antoine Destutt de Tracy (1754-1836). (Abil Fida: 2018, hlm. 20)
Peran ideologi bagi manusia sangat besar. Ibarat jiwa dalam sebuah tubuh, hakikatnya jiwa lah yang menggerakan segala sesuatu. Sekalipun kaki yang berjalan, tangan yang memukul, semua itu berujung jiwa itu sendiri. Ideologi digunakan manusia sebagai landasan berpikir, sudut pandang atau worldview untuk setiap sikap dan perilakunya. Begitupun politik, akan diwarnai oleh ideologi terkait langkah politisnya, strategi, kebijakan dan berkuasa.
Maka dapat dipahami bahwa warna politik di abad modern ini tidak bisa dipisahkan dari ideologi yang berkembang dan dikembangkan oleh para pemikira politik melalui karya mereka semacam nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, demokrasi, anarkisme, liberalisme, konservatisme, feminisme dan fasisme. (Abil Fida: 2018, hlm. 21)
Menurut Hasan Al-Banna, politikus adalah orang-orang yang memberikan perhatian kepada urusan-urusan umat dan memahaminya dengan teliti, mengerti dan mencarikan solusinya berdasarkan ide dan pemikiran yang benar. Sedangkan politikus islami ialah seorang muslim yang konsisten dengan Islam yang menangani berbagai urusan ummat dari sisi pandangan Islam dan hukum syara’. (Muhith Ishak, 2013)
Secara praktis, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusionao atau non-konstitusional. (https://id.wikipedia.org/wiki/Politik) Karenanya politik berkaitan kuat dengan kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam Islam, hakikat kepemimpinan bukan sekadar ikatan sosial antara pemimpin dengan rakyatnya. Ada ikatan ilahiyah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hari akhir.
Dan (ingatlah) tatkala telah diuji Ibrahim oleh TuhanNya dengan beberapa kalimat, maka telah dipenuhinya semuanya. Diapun berfirman : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan engkau Imam bagi manusia. Dia berkata : Dan juga dari antara anak-cucuku. Berfirman Dia : Tidaklah akan mencapai perjanjianKu itu kepada orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Baqarah : 124)
Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Seutuhnya manusia dilahirkan akan berpolitik. Sebab kita hidup setidaknya memimpin dirinya sendiri. Karena fitrah manusia untuk bergerak menuju kebaikan, kita pun berkewajiban melayani dirinya untuk terus berbuat baik. Apalagi kalau menjadi pemimpin masyarakat, maka berkewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum. Sehingga arti kekuasaan tidak senikmat dan semudah itu, saat masyarakat merasa tidak dilayani atau bahkan dikhianati, maka kita telah melanggar amanah antara manusia (ikatan sosial) dan kepada Allah (ikatan ilahiyah). Atas dasar itulah Abu Bakar Ash-Shidiqi mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” ketika diamanahi menjadi khalifah.
Memahami politik tidak sesulit kita menjalan kekuasaan penuh tekanan dan perlawanan. Cukup menyadari bahwa ini sudah menjadi fitrah manusia, keniscayaan yang patut dialami oleh kita semua. Tapi, memahami politik juga tidak semudah penguasa mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan dirinya atau orang terdekatnya. Kita harus memahami bahwa pemimpin adalah suri tauladan bagi masyarakat. Pemimpin adalah petugas dan pelayan bagi masyarakat. Ganjaran yang tidak terhingga saat menjalaninya dengan baik dan ancaman yang nyata saat mengkhianatinya. Paham inilah yang dilupakan oleh para politikus sekarang ini.
Dalam konteks politik modern di Indonesia, politik dapat kita maknai sebagai peran dakwah. Karakter Islam yang universal dan tidak terbatas membuka ruang yang luas dalam politik, selama mengacu pada koridor nilai-nilai Islam. Politik merupakan bagian dari dakwah dan dakwah adalah tujuan dari pada politik. Konsep ini yang harus ditanamkan dalam benak politikus muslim. Bahwa kesuksesan terbesarnya adalah saat mampu melindungi keragaman agama melalui kekuasaannya. Saat memimpin politikus harus memahami bahwa dirinya ulul amri sebagaimana disebut dalam al-Quran. Artinya orang yang siap mengurusi urusan rakyat. Pemimpin harus sadar bahwa dirinya adalah khodimul ummah, bukan raja yang bebas melakukan apa saja untuk kenikmatannya.