Judul : I Believe in You
Penulis : Aaboy
Penerbit : IndivaMedia Kreasi
Tebal : 240 halaman
Cetakan : I, Oktober 2019
ISBN : 978-602-5701-02-3
Sebelum melanjutkan bacaan resensi kali ini, perlu diketahui bahwa resensi ini ditulis dari sudut pandang seorang yang minim bacaan fiksinya, khususnya novel. Mempelajari teori-teori fiksi, namun jarang menulis cerpen, apalagi novel. Semoga resensi menjadi awal ketertarikan saya untuk banyak membaca karya fiksi dan menghasilkan karya ke depan. J
*****
Kalau harus menyimpulkan isi dari novel ini, maka saya akan katakan “cerdas”. Kecerdasannya akan coba saya paparkan berikut dengan sedikit kisah yang memberi amanat cukup menyentuh bagi para pembaca. Bagi saya yang cukup mengenal sedikit banyaknya penulisnya, jelas sekali penulisannya sangat mewakili. Mahasiswa, kampus, cinta, persahabatan dan orangtua menjadi pokok utama pembahasan dalam novel yang bisa kita singkat dengan “IBU”.
Novel mengisahkan 4 mahasiswi yang bersahabat sejak belajar bersama di salah satu kampus di Jawa Barat. Aliska yang asal jeplak. Balinda si kalem, Cin-cin yang ibunya superhiperprotektif dan Dean yang selalu merasa kehilangan figur orangtuanya. Keakrabannya sudah memutuskan urat malu antar satu sama lain. Latar belakang serta karakter keempatnya yang berwarna membuat keluh, kesah, gembira tertampung dalam satu ikatan yaitu keluarga. Ya, mereka sudah menjadi keluarga seutuhnya. Bisalah kita gambarkan sebagaimana persahabatan lainnya yang sering diangkat dalam dunia fiksi.
Kecerdasannya ada pada singkatan judul buku ini, yaitu “IBU”. Ya, hubungan keempat mahasiswi yang diberi nama Zifour (Z-4) dengan ibunya masing-masing adalah bahasan yang banyak diperbincangkan dalam novel ini. Hampir setiap bab kita akan disodorkan kisah mengejutkan antara seorang ibu dan anak yang sudah dewasa. Kadang hubungannya yang tidak harmonis seperti Deanus dengan kedua orangtuanya yang sulit bersua ibarat perjumpaan air hujan di tanah arab. Atau Cin-cin dengan ibunya yang perbincangannya sangat cair, karena sang anak dianggap sahabatnya.
Di tengah kegersangan moral, novel Aaboy hadir dengan nuansa kekinian tapi punya amanat yang sangat kental tentang hubungan pemuda dengan orangtua. Sekarang, kedekatan dengan orangtua dianggapnya manja, tidak mandiri, tidak gaul. Tapi di sisi lain pemuda seakan tidak ada rasa terima kasih atas jasa seorang yang telah membesarkannya. Sebaliknya ada juga orangtua melepaskan anaknya begitu saja, membiarkannya tanpa belaian kasih sayang, menganggap pendidikan selama ini sudah cukup, melepaskan di tanah belantara kerumunan manusia yang tak karuan.
“Kak, buat apa punya rumah bagus kalau kayak nggak punya orangtua?”
Perkataan salah satu adik kembarnya Dean saat menanggapi liburan keluarga yang hampir digagalkan karena kesibukan ibunya.
“Sayang, bilang sama temanmu Dean itu hati-hati menyopir mobilnya. Di tol itu Mamah dengar sering terjadi kecelakaan,”.
“Cin-cin dan teman-teman sudah sarapan kan? Jangan lupa isi perut ya!”.
“Baik-baik ya Cin tinggal di rumah orang, jangan sampai kamu ngerepotin!”.
“Jangan jajan sembarangan nanti di perjalanan. Tidak boleh yang di pinggir jalan, itu kurang sehat. Beli di tempat yang mahalan sedikit juga tidak apa,”.
Kalau ini percakapan ibu yang khawatir dan Cin-cin yang merasa ibunya terlalu berlebihan.
Memang, hampir semua konflik ceritanya membicarakan tentang Ibu. Seperti Dean merasa kurang kasih sayang dan perhatian ibunya yang sibuk dengan proyek bisnisnya. Cin-cin yang risih dengan sikap superhiperprotektif ibunya dan Ibunya Balinda menjadi seorang ibu ideal, paling diimpikan dan idaman bagi semua skuad Zifour. Bahkan klimaks novel ini menurut saya ada pada kekuatan sosok ibu dan anak yang akhirnya memberi kesadaran kepada sahabat lainnya.
Selain itu latar penulisan novel ini sangat nyata, bagi orang Jawa Barat hal ini sangat bisa dicerna. Seperti kue balok khas Garut yang menjadi favorit tongkrongan skuad Zifour, pendakian ke gunung Papandayan lalu foto bersama dengan latar hutan mati dan keindahan bunga edelweis dan pantai selatan Garut seperti sekitar Santolo yang dijadikannya sebagai latar tempat KKN Balinda. Bagi pembaca novel pemula seperti saya yang asli Jawa Barat, latar tersebut benar-benar mudah dicerna, pengembangan ceritanya juga lebih mudah digambarkan. Ini kecerdasan lainnya yang coba disuguhkan oleh penulis.
Secara penggunaan latar tempat, tema dan konflik yang diangkat penulis dapat kita simpulkan bahwa menulis kisah fiktif yang menggugah dan syarat akan makna bisa terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, konfliknya bisa diangkat kejadian yang kita alami. Novel ini bisa merubah perspektif pembaca bahwa novel tidak selalu memerlukan biaya mahal untuk survei dan riset ke luar negeri atau ke luar daerah, namun ide itu ternyata ada di sekeliling kita.
Kelebihan
1. –Penggunaan latar, pengangkatan konflik dan tema mudah dicerna, karena sangat terlihat apa adanya. Hal ini juga memberikan pelajaran bahwa riset data untuk penulisan novel bisa dilakukan dimana saja, bahkan di sekitar tempat kita hidup sekalipun.
2. – Cover dan judul cukup berhasil membuat penasaran dan menipu. Karena tema yang diangkat justru tidak sebatas kehidupan remaja seperti yang digambarkan, tapi lebih dari itu. Ini benar-benar antimainstream.
Kekurangan
1. – Sepertinya terlalu banyak nama pengganti yang digunakan sebagai panggilan atau karena beberapa panggilan minim digunakan. Seperti penggunaan nama-nama Zany, Zephyr, Zebram Zeppelin (Z4). Pembaca lebih hanyut dengan panggilan-panggilan yang lebih sering muncul di percakapan.
Meskipun begitu novel ini jelas memiliki sudut pandang yang unik. Kisah pemudi kekinian dan hubungannya dengan orangtua yang jarang orang mensyukurinya. Amanatnya sangat ringan, mengalir tersampaikan kepada para pembaca. Novel ini menasihati dengan menusuk langsung ke dalam pikiran dan hati, tanpa harus berteriak menggetarkan gendang telinga saja.